![]() |
foto repro Kompas (16/11/15) |
Nama asli Willem Iskander adalah Sati Nasution gelar Sutan Iskandar. Ia adalah anak dari Raja Tinating dari Pidoli Lombang, Panyabungan dan merupakan keturunan ke-11 dari marga Nasution. Menurut tarombo (silsilah) marga Nasution, Sibaroar gelar Sutan Diaru mempunyai dua anak yaitu Tuan Moksa dan Tuan Natoras. Willem Iskander adalah keturunan dari Tuan Natoras yang memiliki dua anak yaitu Baginda Mangaraja Enda dan Baginda Tobing Nainjang. Baginda Mangaraja Enda memiliki anak yang salah satunya adalah Sutan Kumala Sang Hiyang Dipertuan Huta Siantar. Salah seorang anak Sutan Kumala adalah Mangaraja Soaloon yang tinggal di Pidoli Lombang. Salah satu anak Mangaraja Soaloon juga diberinya nama Sutan Kumala yang menjadi ayah dari Mangaraja Tinating. Mangaraja Tinating memiliki anak bernama Sutan Kumala Porang yang kemudian memberi nama anaknya lagi sebagai Mangaraja Tinating. Mangaraja Tinating inilah yang menikah dengan Boru Lubis dari Desa Roburan dan melahirkan Willem Iskander. Dengan perkataan lain Willem Iskander adalah generasi ke-11 dari nenek moyang marga Nasution, Si Baroar.
Lahir di Desa Pidoli Lombang pada Maret 1840, kehidupan Willem Iskander banyak diwarnai oleh suasana peperangan antara pribumi melawan penjajahan Belanda. Pada Desember 1933 (tujuh tahun sebelum kelahiran Willem Iskander), Belanda memasuki Tamiang (Mandailing Julu), setelah mundur dari Rao akibat serangan pasukan Paderi. Pada 1835, Belanda mendirikan benteng di Singengu dan menunjuk seorang kontrolir Belanda bernama Bonnet berkedudukan di Kotanopan. Perlawanan dari orang Mandailing dimulai oleh Sutan Mangkutur dari Huta Na Godang (1837). Walaupun Belanda dapat memadamkan perlawanan rakyat namun suasana perlawanan terus berlangsung sampai kemerdekaan 1945. Tidak heran jika dalam salah satu sajaknya berjudul "Mandailing" Willem Iskander menulis di salah satu bait:

Buku terbaru dan saat ini dianggap lebih lengkap membahas tentang Willem Iskander adalah: Inspirasi Kebangsaan Dari Ruang Kelas, tulisan St. Sularto, diterbitkan oleh Kompas (Mei 2016).
Berikut kami kutipkan kata sambutan Pendiri PIDM, Dr. Rizali H. Nasution yang dimuat di buku tersebut.
WILLEM ISKANDER
Berpikir dan berbuat melampaui zamannya
Rizali Harris Nasution
Pendiri Pusat Informasi dan Dokumentasi Mandailing
Terkejut dan gugup sejenak adalah reaksi pertama saya ketika
membaca surat Pak Sularto –melalui email, yang meminta saya untuk memberikan
kata sambutan di buku Inspirasi
Kebangsaan dari Ruang Kelas, ini. Sebagai orang Mandailing dan “pencinta
Mandailing”, saya bukanlah ahli sejarah atau antropologi. Namun dalam kegiatan
di Pusat Informasi dan Dokumentasi Mandailing –yang saya dirikan bersama
kawan-kawan sesama pencinta Mandailing, sejak awal 2010, saya menyadari betapa
orang Mandailing memiliki paling tidak tiga kekayaan non-benda. Pertama, huruf (surat)
dan tulisan Mandailing atau dikenal sebagai surat
tulak-tulak. Tulisan mana –menurut Uli Kozok, dalam bukunya Surat Batak, kemudian menyebar dari
Wilayah Mandailing ke utara dan berkembang di wilayah-wilayah Angkola, Toba,
Karo dan Simalungun. Kedua, terdapat
nama Mandailing (Mandahiling) di
dalam syair ke-13 Naskah Kakawin Negarakertagama tulisan Mpu Prapanca yang
menunjukkan keberadaan wilayah dan etnis Mandailing telah ada dan dikenal sejak
saat Kerajaan Majapahit (1350-1389) atau tahun 1287 Caka. Mandailing sendiri
memiliki dua pengertian. Pertama, sebagai nama wilayah yang berada di Kabupaten
Mandailing Natal dan kedua sebagai nama etnis yang tinggal di sebagian besar wilayah
itu. Seperti diketahui Naskah asli Negarakertagama masih tersimpan di
Perpustakaan Nasional, Jakarta dan di KITLV, Belanda. Naskah ini sejak 20 Juni
2013 telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Daftar Ingatan Dunia (Memory of World). Nah, yang ketiga adalah sosok Willem Iskander
atau ketika lahir diberi nama Sati Nasution, seorang perintis pendidikan, guru,
pengarang prosa dan puisi yang cara berpikir, karakter, kegiatan dan karya-karyanya
–ketika itu, melampaui zaman saat ia hidup.
Willem Iskander,
sebuah nama yang sangat dikenal oleh penduduk yang tinggal di Kabupaten
Mandailing-Natal. Sangat dikenal? Ya, setidaknya karena nama Willem Iskander
diabadikan menjadi nama sebuah jalan besar sebagai bagian dari jalan Lintas
Sumatra yang membelah Kota Panyabungan, ibukota Kabupaten Mandailing-Natal,
Propinsi Sumatra Utara. Bagaimana dengan sejarah hidup, ide-ide dan peranan
Willem Iskander dalam memajukan kehidupan di Mandailing? Nah, kalau yang ini
saya meragukan apakah orang Mandailing, terutama generasi yang lahir setelah
kemerdekaan Indonesia masih mengenalnya.
Willem Iskander meninggal pada 8 Mei 1876 atau 140 tahun
yang lalu. Ia lahir pada Maret 1840 di Pidoli Lombang, Mandailing. Hal itu
berarti saat dewasa ia berhadapan dengan masa penjajahan Belanda. Belanda
memasuki Mandailing pada Desember 1833 melalui Tamiang (Mandailing Julu)
setelah dipukul mundur oleh pasukan Paderi dan tak mampu mempertahankan Benteng
Amerongen sebagai markas pasukan mereka di Rao, Sumatra Barat. Pada 1835 untuk
pertama kali Belanda mengangkat seorang kontrolir bernama Bonnet berkedudukan
di Kotanopan. Sejak itulah perlawanan orang Mandailing terhadap penjajah
Belanda muncul yang dimulai oleh Sutan Mangkutur dari Huta na Godang (sekarang
Kecamatan Ulu Pungkut). Walaupun perlawanan ini dapat dipatahkan, namun sejarah
mencatat perlawanan terhadap Belanda sampai masa kemerdekaan tak pernah surut
di Mandailing bahkan beberapa perintis kemerdekaan dari Mandailing ada yang
dibuang ke Digul (Papua).
Masa dewasa Willem Iskander di masa penjajahan Belanda
menjadi penting karena ia menyuarakan semangat kemerdekaan tidak saja melalui
keinginan dan kegiatannya yang luar biasa memberikan pendidikan kepada orang
Mandailing. melalui pendirian Sekolah Guru Bumiputra (KweeksSchool) di Tano Bato (sekitar 17 km dari Panyabungan).
Tetapi ia juga menyuarakan semangat kemerdekaan melalui sajak-sajak yang ditulisnya.
Lihatlah salah satu bait dalam sajak yang berjudul Mandailing:
Adong alak ruar (Ada orang luar)
Na mian di Panyabungan (yang tinggal di
Panyabungan)
Tibu ia aruar (Ia segera keluar)
Baen ia madung busungan (karena perutnya
sudah busungan)
Tentu saja bait ini ditujukan Willem Iskander untuk
menyindir kaum kolonial Belanda yang mengeruk hasil bumi Mandailing. Tidak
heran jika pada 1930-an tulisan Willem Iskander –terutama yang terdapat dalam
buku Si Bulus Bulus Si Rumbuk Rumbuk, pernah dilarang penggunaannya oleh
penjajah Belanda. Perlu dicatat bahwa salah satu hasil bumi Mandailing yang
sangat terkenal sampai sekarang adalah kopi arabika Mandailing (Mandheling coffee) dan emas. Tidak
heran jika Mandailing juga dikenal dengan sebutan Tano Sere (Tanah Emas). Kopi Mandailing tidak saja dikenal di
Indonesia, tetapi telah mendunia.
Tinggal ma ho jolo ale (Tinggallah
engkau dahulu)
Anta piga taon
ngada u boto (entah berapa tahun aku pun tak tahu)
Muda u ida ho
mulak muse (jika nanti engkau ku lihat lagi)
Ulang be nian sai
ma oto (kuharap tidak lagi dalam kebodohan)
Lao ita marsarak (saat kita berpisah
ini)
Marsipaingot dope au di ho (kuberi
nasehat lagi padamu)
Ulang lupa paingot danak (jangan lupa
mengingatkan anak-anak)
Manjalai bisuk na peto (mencari ilmu
yang hakiki)
Selain menjadi guru di sekolah guru, ia juga seorang
penulis prosa dan puisi yang tak tertandingi sampai saat ini. Buku Si Bulus Bulus Si Rumbuk Rumbuk (Lurus,
Tulus, Mufakat), selain mecerminkan luasnya pengetahuan Willem Iskander juga
menunjukkan keinginan yang kuat menjaga tradisi Mandailing. Di sekolah yang
dipimpinnya, ia menjadikan Bahasa Mandailing dan Melayu untuk menjelaskan
konsep ilmu pengatahuan dari Barat kepada murid-murid. Ketaatan pada Sang
Pencipta sangat menonjol dalam tulisan-tulisannya. Dan tidak kalah pentingnya
memberikan kritik yang tajam kepada penjajah Belanda. Mari kita lihat betapa
dekatnya Willem Iskander dengan Tuhan dalam salah satu bait prosa yang berjudul
Amamate Alak na Lidang (Kematian
Orang yang Jujur),
O, Tuhan! Ta patibuma au mardalan. Por roangku tibu aruar tingon
bagasan uling-kuling on. Madung tangking au …. Giot meninggalkon… portibi on.
Roma…upasahat…tondingku..di bagasan tangan Ta.
Artinya: Ya Tuhan,
segerakanlah ajalku. Aku ingin keluar dan terlepas dari dunia yang penuh
kebohongan ini. Aku sudah menanti…. Untuk meninggalkan dunia ini. Datanglah…
kuserahkan nyawaku dalam genggaman Mu.
Namun di sisi lain ia juga menulis humor yang segar
seperti dalam judul Siakkak Dohot Landuk
(Gagak dan Pelanduk), di mana pelanduk memuji-muji suara gagak dan memintanya
untuk bersuara. Gagak terpengaruh dan mengeluarkan suara yang kuat. Jatuhlah
pisang di paruhnya ke tanah, pelanduk tertawa sambil melarikan pisang. Itulah
Willem Iskander yang melakukan hal-hal yang sangat inovatif pada masa hidupnya menjadi
kenyataan di saat orang lain bahkan belum memikirkan hal itu.
Memang ada kontroversi tentang kehidupan Willem Iskander
terutama tentang pernikahan, perpindahan agama dan kematiannya di Negeri
Belanda. Namun masyarakat Mandailing tidak terlalu mempersoalkan hal itu karena
jasa-jasanya jauh lebih penting untuk dikenang dan diteruskan. Walaupun
seharusnya memang harus ada fakta tentang ketiga hal di atas untuk
melengkapi sejarah kehidupannya. Buku
ini memuat banyak hal tentang kehidupan Willem Iskander yang selama ini
terserak di berbagai buku dan tulisan. Saya sendiri merasa kesulitan untuk
menulis kata sambutan ini, karena rasanya “lebih nikmat” membaca naskah buku tentang
orang yang juga saya kagumi.
Terima kasih dan penghargaan kepada Bapak St. Sularto dan
tim yang telah bekerja keras mengumpulkan bahan sehingga buku ini terbit. Sekarang dan bertahun-tahun kemudian
buku ini akan menjadi monumen kekayaan bangsa Indonesia melalui etnis yang
beragam, di bidang pendidikan. Tinggallah kita dan generasi berikutnya berpikir
dan berbuat……. kenapa harus kalah, tingkatkan inovasi baru sehingga pendidikan
di Indonesia tetap mampu bersaing dalam pergaulan dunia. Tetaplah jujur, rendah
hati dan peduli, sebagai wujud penghargaan kita kepada Willem Iskander. Akhirnya,
hanya ada satu kalimat yang paling tepat untuk mengenang Willem Iskander: maroban sulu di na golap, maroban tungkot di
na landit (membawa suluh dalam kegelapan, membawa tongkat di tempat yang
licin). Horas tondi madingin, pir tondi
matogu, sayur matua bulung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar