Pusat Informasi dan Dokumentasi Mandailing

Kantor Pusat: Jl. Menteng VII, Perumahan Menteng Indah Blok B1/31 Medan 20228, Telf. (061) 7860787, e-mail: pid.mandailing@gmail.com
Perpustakaan dan Museum Kebudayaan Mandailing: Sopo Sio Parsarimpunan ni Tondi Mandailing, Saba Garabak, Ds. Hutapungkut Jae, Kec. Kotanopan, Mandailing-Natal 22994.


Minggu, 08 Oktober 2023

PUSAT INFORMASI DAN DOKUMENTASI MANDAILING


Peresmian SSP dengan memotong
tali harondut (daun pandan)
Pusat Informasi dan Dokumentasi Mandailing (PIDM) adalah salah satu kegiatan Kelompok Humaniora Pokmas Mandiri (KHP), di bawah manajemen Yayasan Dr. Rizali Harris Nasution (YDR) dan didukung oleh Yayasan Badan Warisan Soematra (YBWS). Visi KHP adalah "Membangun Masyarakat Mandiri: Sehat, Cerdas, Sejahtera dan Berbudaya". Misi PIDM adalah revitalisasi sejarah, kebudayaan dan kesenian Mandailing
Sopo Sio Parsarimpunan ni Tondi Mandailing
Perpustakaan dan Museum Kebudayaan Mandailing
Saba Garabak, Hutapungkut Jae, Kotanopan

PIDM berdiri di Medan pada 15 Januari 2010 dengan langkah pertama mendirikan Sopo Sio Parsarimpunan Ni Tondi Mandailing (SSP), di Saba Garabak, Desa Hutapungkut Jae, Kecamatan Kotanopan, Kabupaten Mandailing-Natal. SSP telah memulai masa ujicoba (soft opening) sejak 17 Juli 2010, dan grand opening-nya pada 26 Desember 2010. SSP berfungsi sebagai Perpustakaan dan Museum Kebudayaan Mandailing. SSP terletak 7 km dari Kotanopan, melalui jalan raya lintas Sumatra dan berbelok ke kanan di Desa Marapungkut ke arah Hutagodang (1300 m). 

Kantor Pusat: Jl. Menteng VII, Perumahan Menteng Indah Blok B1/31 Medan 20228, Indonesia, e-mailpid.mandailing@gmail.com contact person: Alfi Syahrin Harahap.
facebook.com/banuamandailing


Sopo Sio Parsarimpunan/Kantor Cabang Mandailing-Natal: Saba Garabak, Desa Hutapungkut Jae, Kec. Kotanopan, Mandailing Natal 22994, telf. 0636-41434, contact person: Ridwan Nasution (0813 9608 4544).
PIDM berfungsi sebagai:
Sebagian Koleksi Benda Tradisional di
Museum SSP 
  1. Perpustakaan, dengan fasilitas: selain buku umum, secara khusus tersedia koleksi buku atau dokumen tertulis yang berhubungan dengan Mandailing. Sebagian besar buku dan dokumen tentang Mandailing juga tersedia di Perpustakaan Induk, Kantor Pusat, Medan.
  2. Museum Warisan Budaya Mandailing, dengan fasilitas: koleksi foto bersejarah, rekaman audiovisual, alat kesenian Mandailing, dan benda-benda yang berhubungan dengan kehidupan tradisional Mandailing.
  3. Penerbitan Buku, yang berfungsi untuk menerbitkan buku yang berhubungan dengan sejarah, kesenian dan kebudayaan Mandailing bekerjasama dengan Penerbit Pustaka Widiasarana.
  4. Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Mandailing, yang berfungsi untuk terus menerus mempertahankan keberadaan kesenian asli dan adat istiadat Mandailing. 

Pendiri PIDM adalah Dr. Rizali Harris Nasution, sejak 2018 PIDM bergabung menjadi salah satu program Badan Warisan Soematra (BWS). BWS sendiri adalah salah satu yayasan yang bergabung di bawah bendera Kelompok Humaniora-Pokmas Mandiri (KHP). Pengurus BWS periode 2018-2022:
    • Ketua          : Fadmin P. Malau
    • Wkl. Ketua  : Koko Hendri Lubis
    • Sekretaris   : Akbar
    • Wkl. Sekr.   : M. Sukri Nasution
    • Bendahara : Yunda Firana

-----------

Senin, 28 Desember 2020

MANDAILING, TANO SERE

Posisi Mandailing di Propinsi Sumatra Utara
(foto di scan dari buku Tulila)
          Kata Mandailing mempunyai dua arti. Pertama, sebagai kesatuan budaya, maka Mandailing adalah nama suatu etnis (suku bangsa). Kedua, sebagai kesatuan wilayah di Propinsi Sumatra Utara. Wilayah Mandailing terletak di Kabupaten Mandailing-Natal. Sebelum tahun 1992, wilayah ini terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan. Batas-batas wilayahnya di sebelah utara dengan Kecamatan Angkola (Simarongit, Desa Sihepeng) dan dengan Padang Bolak (Rudang Sinabur).  Ke arah barat berbatasan  dengan wilayah Natal (Lingga Bayu), sementara ke arah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pasaman (Ranjo Batu), Propinsi Sumatra Barat. Perbatasannya ke arah timur berada di wilayah Barumun. Sejak lama wilayah Mandailing dibagi atas dua sub-wilayah yaitu Mandailing Godang (Groot Mandailing) mulai dari Aek Badak dekat Sihepeng sampai ke Maga terus ke Tapus (Batang Natal) dan Mandailing Julu (Klein Mandailing) mulai dari Laru sampai ke Botung. Jika dilihat peta Mandailing tahun 1856 masih ada dua wilayah lagi yaitu Ulu di Muara Sipongi dan Pakantan. Pada masa sebelum kemerdekaan, raja-raja di Mandailing Godang umumnya bermarga Nasution dan di Mandailing Julu bermarga Lubis. Fakta ini menegaskan bahwa Mandailing dapat dilihat dari dua pengertian yaitu sebagai suku-bangsa dan wilayah geografis. 
foto: Gunung Sorik Marapi

Gunung berapi yang masih aktif Gunung Sorik Marapi berada di perbatasan antara Mandailing Godang dan Mandailing Julu.

Posisi Kab. Mandailing Natal (warna merah) di  Prop. Sumatra Utara
    Asal usul kata Mandailing banyak diperdebatkan, namun didominasi oleh dua pendapat. Berasal dari Mande Hilang (artinya ibu yang hilang, Minangkabau) dan Mandala Holing, sebuah nama kerajaan yang telah ada sejak abad ke-12, terbentang dari Portibi di Padang Lawas sampai ke Pidoli di Panyabungan. Dokumentasi sejarah Mandailing memang sulit diperoleh karena sekalipun ada warisan aksara tradisional, surat tulak-tulak dan kitab pustaha, namun pustaha lebih banyak berisi tentang pengobatan tradisional, ilmu gaib bahkan ramalan mimpi (the interpretation of dream). Sejarah Mandailing justru lebih banyak diketahui dari Buku Kakawin Negarakertagama (Nagara Kretagama) atau Desawarnana yang ditulis oleh Pujangga Majapahit Mpu  Prapanca (Rakawi Prapanca). Ia mencatat bahwa pada tahun 1287 Saka (1365 Masehi) prajurit Majapahit menyebutkan ada wilayah yang bernama Mandahiling.  Kata Mandahiling ditemukan pada syair ke-13 yang berbunyi:

foto: Naskah Nagara Kretagama
          “Lwir ning nusa pranusa pramukha sakahawat/    
          ksoni ri Malayu nan jambi mwan palembang
          karitang i teba len/ Dharmacraya tumut,  kandis
          kahwas manankabwa ro siyak i rkan/  Kampar
          mwan i pane, kampe harw athawe
          mandahiling i tumihan parilak/ mwan i barat"


Selain kedua pendapat tadi nama Mandailing juga tertulis pada Tonggo-tonggo Si Boru Deak Parujar, sebuah buku kesusasteraan Toba klasik. Namun fakta pada Naskah Negarakertagama yang dibuat pada era Kerajaan Majapahit (1350-1389) jauh lebih memberikan jawaban terhadap asal usul bangsa Mandailing. Lebih jauh lihat tulisan Zulkifli B. Lubis tentang Revitalisasi Kebudayaan Mandailing

      Perlu dicatat bahwa UNESCO, sebuah badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan telah menetapkan Naskah Negarakertagama sebagai Daftar Ingatan Dunia (Memory of World) bersama dengan Babad Diponegoro, sejak 20 Juni 2013 pada sidang yang diadakan di Korea Selatan. Sebelumnya naskah ini sejak 2005 diterima UNESCO sebagai MOW untuk  Asia Pasifik. Naskah Negarakertagama sampai saat ini masih tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta dan di KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde), Belanda. 
   
    Naskah Negarakertagama ditemukan oleh seorang sarjana Belanda Dr. J. Brandes (Negarakertagama, loftdicht van Prapantja op Koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit-verhandelingen Bat.Gen.Ken W, no.54, 1902) di istana Cakranegara Lombok sebelum istana itu dibakar oleh tentara Belanda (1893). Pada tahun 1974 naskah itu dikembalikan oleh Belanda ke Indonesia. Selain terdapatnya nama mandahiling di Naskah Negarakertagama, Mandailing masih memilik dua kekayaan non-benda lain yaitu keberadaan Willem Iskander sebagai perintis pendidikan dan Surat Tulak-tulak, aksara dan tulisan Mandailing.  (The existence of Mandailing ethnic been used since the 14th century with the inclusion of the name 'Mandahiling' on Sumpah Palapa of Gajah Mada in the 13th poem Kakawin Negarakertagama by Mpu Prapanca works as an expansion area around the year 1287 Çaka Majapahit (1365 AD) to some areas outside Java. Kakawin in the handwriting found in the temple of Lombok Cakranegara then first published in 1902 by the Dutch scholar Dr. J. Brandes in the original language and letters on the book 'Negarakertagama, loftdicht Koning van prapanca op Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Majapahit'.)

          Asal usul suatu kelompok dapat juga dilihat dari tarombo (silsilah) marga mereka. Marga Nasution (dari nenek-moyang bernama Si Baroar) dan Lubis (dari nenek-moyang bernama Namora Pande Bosi) adalah marga dengan jumlah "pengikut" terbesar. Masyarakat Mandailing menurunkan marga berdasarkan marga ayahnya (patrilineal). Selain marga Lubis, Namora Pande Bosi juga mempunyai keturunan yang kemudian memakai marga Pulungan dan Harahap. Marga-marga lain yang dikenal di Mandailing adalah: Rangkuti dan Parinduri (memiliki nenek-moyang yang sama, Mangaraja Sutan Pane), Matondang dan Daulae (memiliki nenek-moyang yang sama, Parmato Sopiak) dan Batubara dari nenek-moyangnya, Bitcu Raya. Selain itu dikenal juga: Hasibuan, Dalimunte, Mardia, Tanjung dan Lintang.

foto: Areal persawahan dikelilingi bukit di Kec. Pakantan
Menurut Uli Kozok (Surat Batak, 2015) di zaman prakolonial dan awal penjajahan Belanda, selain Toba maka etnis Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun dan Angkola-Mandailing lazim menyebut diri sebagai Batak. Dewasa ini istilah tersebut sudah jarang dipakai dan salah satu alasannya karena orang Toba cenderung menyebut diri sebagai Batak dan bukan sebagai Toba. Pada dasarnya Toba merujuk pada dua daerah saja yaitu Toba Humbang dan Toba Holbung, sementara Habinsaran, Samosir, Silalahi, Silindung,Uluan dan beberapa daerah kecil lain sebenarnya tidak termasuk daerah Toba.

Cukup menarik bahwa di Mandailing terdapat Suku Lubu atau dikenal dengan orang (Alak) Siladang. Mereka tinggal di bagian selatan Panyabungan . Sementara di Muarasipongi tinggal Suku Ulu (Alak Muarasipongi). Dahulu mereka dipandang sebagai suku terasing dengan bahasa yang berbeda dengan bahasa Mandailing dan memiliki raja sendiri pada masa lalu. 

Mandailing Julu berhawa sejuk dikelilingi oleh gunung. Aek Batang Gadis dan Aek Pungkut adalah dua sungai yang mengalir dari hulu yang sama (Gunung Kulabu) dan bertemu kembali di Muara Pungkut, selanjutnya memakai nama Aek Batang Gadis yang bermuara ke Singkuang, Lautan Hindia di pantai barat Sumatra. Kotanopan adalah kota kecil yang dianggap sebagai pusat Mandailing Julu. Persawahan banyak ditemui di sepanjang lereng gunung dan di tepi sungai, namun luasnya kurang memadai dibanding dengan areal persawahan di Mandailing Godang. Hawanya yang sejuk sangat sesuai untuk tanaman kopi. 

KOPI MANDAILING (Mandheling Coffee)
Tampilan depan
kaleng Mandhelling
coffee
          Sebelum perang dunia ke-2 kopi yang dihasilkan dari Pakantan dan Ulu Pungkut diekspor ke Eropah dan Amerika dan kemudian dikenal sebagai Mandheling coffee. Saat ini Mandheling Coffee masih beredar dan dijual di Indonesia dan di luar negeri baik dalam bentuk bubuk maupun biji (lihat foto). Dalam penjelasan di pembungkus kopi ini tertulis "Mandheling Coffee uses only premium grade 1 single-origin coffee beans grown in the highlands of the Mandailing tribes in North Sumatra".
          Diperkirakan Belanda lah yang telah menjejakkan kaki dan membawa kopi ke wilayah Mandailing. Wilayah Pakantan menjadi pusat penanaman dan pengembangan kopi (Arabika) di Mandailing. Sayang era keemasan kopi Mandailing yang dikenal dunia mulai tahun 1878 seolah meredup. Saat ini  sekitar 50 ha perkebunan kopi rakyat mulai dikembangkan kembali di wilayah Simpang Banyak, Ulu Pungkut (Desa Langgamtama). Sementara di dekatnya sebuah perusahaan Australia mengelola sekitar 150 ha kopi Arabika.
       
kemasan kopi yang diberi label
sebagai Mandheling coffee
Pohon kopi Mandailing tumbuh di ketinggian 1800-1.200 m di atas permukaan laut. Kopi jenis Arabika ini ditanam lewat sistem kultur (culture system) tahun 1835 di masa penjajahan Belanda. Karakteristiknya dikenal karena memiliki rasa kekentalan yang kuat, rendah asam, aroma yang kaya, lembut dan rasa coklat yang asam manis. Rasa kopinya masih melekat sesudah diminum.        

     Di wilayah ini juga tumbuh subur karet dan kayu manis. Gula aren kualitas terbaik yang dikenal dengan gula bargot banyak dihasilkan dari pohon enau. Bekas penambangan emas banyak ditemukan di Mandailing Julu, bahkan di aliran Aek Batang Gadis masyarakat sering mendapatkan emas (sere) dengan cara manggore (mendulang). Banyaknya ditemukan sumber emas ini menjadikan Mandailing mendapat gelar sebagai Tano Sere

          Mandailing Godang memiliki areal dataran rendah yang cukup luas dan berhawa panas. di wilayah ini padi tumbuh subur dan menjadi lumbung beras di Mandailing. Ibukota Kabupaten Mandailing Natal, Panyabungan terletak di wilayah ini. Panyabungan awalnya adalah sebuah kota kecil. Namun karena posisinya di tengah-tengah dataran rendah Mandailing Godang ia kemudian berkembang pesat sebagai pusat perdagangan dan pemukiman. Aek Mata yang bermuara ke Aek Batang gadis adalah sungai yang membelah Kota Panyabungan dan menjadikan pembagian wilayah berdasarkan arah alirannya yaitu: Panyabungan Julu (hulu), Panyabungan Tonga-tonga (tengah) dan Panyabungan Jae (hilir). 

     Orang Mandailing juga gemar menciptakan aneka makanan (kuliner Mandailing) yang menarik dan enak rasanya. Makanan ini khas Mandailing karena memiliki perbedaan bentuk, tampilan, rasa dan kemasan dengan daerah atau etnis lain. Ikan sale, daun ubi tumbuk, sambal udang kecepe adalah di antara makanan khas yang dikenal di Mandailing. Bagi perantau, menyebutkan nama makanan ini saja, dapat menimbulkan air liur. Untuk makanan jajanan (kudapan) juga dikenal lemang, toge Panyabungan, pakkat, anyang pakis, kipang pulut dan alame (dodol).

TAMAN NASIONAL BATANG GADIS (Batang Gadis National Park, North Sumatra)
     Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) luasnya 108.000 Ha berada di Pegunungan Bukit Barisan, 300-2.145 meter di atas permukaan laut. TNBG merupakan hutan negara kawasan hutan lindung register yang sebenarnya telah ditetapkan sejak zaman penjajahan Belanda. Ada enam kawasan yang termasuk ke dalam TNBG yaitu Hutan Lindung: Batang Gadis I (register 4), Batang Gadis II (register 5), Batang Natal I (register 27), Batang Natal II (register 28), Batahan Hulu (register 29) dan Batang Parlampungan I (register 36).

Batang Pungkut, mengalir di belakang Sopo
Sio Parsarimpunan ni Tondi Mandailing
,
Saba Garabak, Hutapungkut Jae.
KepMen Pertanian No. 923/Kpts/Um/12/1982, menetapkan kawasan TNBG sebagai hutan lindung dan hutan produksi terbatas. Gagasan TNBG yang dideklarasikan pada 31 Desember 2001 adalah upaya mewariskan hutan kepada anak cucu. TNBG adalah pengakuan negara dan penguatan terhadap tradisi lokal masyarakat Mandailing-Natal yang telah menjaga hutan alam dan sumber airnya selama ini. TNBG berperan sangat penting untuk melindungi Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Gadis, seluas 386.455 Ha. Sepanjang DAS Batang Gadis, mengalir 943 sungai dan anak sungai. TNBG juga berfungsi untuk menjaga tata air regional, karena keseimbangan air di lokasi lain yang bertetangga dengan Mandailing Natal seperti Kab. Tapanuli Selatan, Pasaman (Sumbar) Rokan Ulu (Riau).  

Banjir bandang memutuskan jembatan Aek Rantau Puran di Desa
Gunung Tua Lumban pasir, Kec. Panyabungan (minggu, 26/02/2012),
foto: Kompas, 28/02/2012
Golden Cat (Catopuma temminikii)












        Berdasarkan penelitian LIPI terdapat 222 jenis tumbuhan di hutan dataran rendah dan 225 jenis di hutan pegunungan. Tumbuhan Kantung Semar yang dilindungi sesuai PP No. 7/1999 juga terdapat di TNBG. TNBG juga memiliki kekayaan 218 jenis burung (38 di antaranya jenis langka dan dilindungi), bahkan 10 jenis burung merupakan burung migran dari China dan Jepang. Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), harimau dahan, kucing hutan, kucing emas, beruang madu (Helarctos malayanus), tapir sumatra (Tapirus indicus), kambing hutan, orang utan (Pongo pygmaeus), siamang (Hylobates syndactylus) dan lain-lain adalah kekayaan mamalia yang luas biasa di TNBG. Maraknya penebangan liar adalah ancaman utama bagai pelestarian TNBG. Panthera tigris sumatrae adalah harimau yang terkecil ukurannya dari 9 spesies harimau di dunia (3 di antaranya telah punah). Jumlah harimau ini sudah sangat kritis (berkisar 250-300 ekor) disebabkan pembukaan lahan di hutan yang menjadi pemukiman harimau dan perburuan liar. (bahan diambil antara lain dari Buletin Haba No. 61/2011) 

BAHASA dan TULISAN MANDAILING
     Suku Bangsa Mandailing memiliki bahasa sendiri yaitu Bahasa Mandailing (rumpun bahasa Austronesia). Dalam prakteknya bahasa ini dibagi atas tujuh ragam yang dibedakan atas kosa-kata yang berbeda. Pertama, ata somal, yang dipergunakan dalam komunikasi sehari-hari. Kedua, ata andung, dipakai dalam tradisi meratap (mangandung). Ketiga, ata teas dohot jampolak, dipakai jika bertengkar (caci-maki), Keempat, ata si baso atau ata Datu/Adat, suatu ragam bahasa yang dipakai oleh dukun (datu). Kelima, ata parkapur, dipakai ketika di dalam hutan (mencari kapur barus, rotan dan lain-lain). Keenam, Ata Poda, dipakai untuk penulisan pustaha (sejarah, hal-hal gaib dan sebagainya) dan ketujuh, Ata Bulung-bulung, dalam bentuk perlambang pada pergaulan remaja dan upacara adat seperti mangupa dan lain-lain.  Contohnya, harimau disebut babiat (hata somal) dan ompung i, raja i atau na gogo i (hata parkapur). Berdasarkan lokasi di wilayah Mandailing terdapat dialek seperti: Dialek Ulupungkut, Pakantan, Kotanopan, Batang Natal, Panyabungan, Tor Sihite, Hilir Batanggadis, Siabu, dan lain-lain. Contohnya di Mandailing secara umum anak laki-laki dipanggil lian, namun juga dipanggil eneng (Tamiang/Hutapungkut), iken ((Pakantan/Ulupungkut), keneng (Manambin), dali (Panyabungan Timur), dan batu (Panyabungan)

     Mandailing juga memiliki aksara tradisional untuk menulis yang disebut Surat Tulak-tulak. Dari tujuh aksara di Indonesia, salah satunya adalah aksara Mandailing. (Surat Tulak-tulak selengkapnya lihat foto berikut). 


Surat (aksara) Tulak-tulak (sumber Jasinaloan)


     Menurut Van der Tuuk (1971), Parkin (1978) dan Uli Kozok (2009) aksara ini menyebar dari selatan ke utara atau dari Mandailing ke Toba dan kemudian dikenal sebagai aksara Batak, selanjutnya ke Angkola terus ke Simalungun, Pakpak dan Karo. (lihat peta penyebaran)
Peta penyebaran Aksara Mandailing
(repro: Uli Kozok, Surat Batak)

Hal yang sama juga dinyatakan oleh Bisuk Siahaan (2005) dalam bukunya "Batak Toba, Kehidupan di Balik Tembok Bambu". Pendapat ini ikut memperkuat bahwa Mandailing bukan sub-etnis Batak. Aksara Mandailing memiliki aksara nya, wa dan ya melambangkan tiga bunyi yang terdapat dalam Bahasa Mandailing, sementara bunyi ini tidak terdapat dalam bahasa Toba. tetapi mereka memiliki aksaranya. Ketiga huruf ini jelas menjadi mubazir di Toba. Contohnya kata sayur (Mandailing) dan saur (Toba). Manyurat (Mandailing) dan manurat (Toba).

    Perlu dicatat bahwa di Mandailing banyak ditemukan situs-situs arkeologis, seperti di Desa Simangambat, Kec. Siabu terdapat reruntuhan candi Ciwa (Hindu) yang didirikan pada abad ke-8 Masehi. Situs-situs lain terdapat di Desa Pidoli Lombang (Saba Biaro), Desa Huta Siantar (Padang Mardia), Desa Sibanggor Juli (Gunung Sorik Marapi) dan lain-lain. Fakta arkeologis seperti ini belum pernah ditemukan di Pusuk Buhit, Toba. Surat Tulak Tulak (Aksara Mandailing) adalah salah satu warisan budaya Mandailing asli yang harus dilestarikan. Kosa kata yang berasal dari bahasa Sanskerta dan Tamil bisa ditemukan dalam bahasa Mandailing, suatu fakta historis persinggungan peradaban India dengan Mandailing, yang bukan hanya terekam dalam bahasa, melainkan juga terbukti dari kehadiran bangsa tersebut secara fisikal di Mandailing tempo dulu. Bisuk Siahaan, mengakui bahwa tidak pernah ditemukan sebuah prasasti pun di wilayah Toba, yang dapat menunjukkan bukti fisik kehadiran bangsa lain di wilayah itu. Sementara di Mandailing memiliki banyak sekali peninggalan purbakala dari zaman batu hingga zaman Hindu/Buddha, yang sebagian sudah hancur, terlantar, dan sejauh ini masih menjadi 'warisan bisu' karena belum banyak diteliti secara ilmiah.

TRADISI LISAN DI MANDAILING
     Mandailing memiliki tradisi lisan yaitu:
  1. Markobarberarti memberi kabar, sebagai bagian penting dari sistem kekerabatan. Keahlian markobar penting bagi seseorang agar ia dapat ditampilkan (ipatutonga);
  2. Manjeir, berarti menyanyikan jeir (nyanyian tradisional Mandailing). Jeir berirama lembut dengan tempo yang lambat berfungsi sebagai pengiring tor-tor.
  3. Mangupa, dalam keadaan tertentu dianggap ada gangguan hubungan antara tondi (semangat) dengan badan, sehingga seseorang dapat terganggu kehidupannya. Dalam konteks saat ini mangupa dapat dikatakan mengembalikan semangat jika ada situasi dan kondisi tertentu (sakit yang lama, pekerjaan yang terganggu, dan lain-lain). Namun dapat juga dipakai untuk tetap bersemangat selanjutnya, seperti pada anak yang baru lulus, wisuda, mendapat pekerjaan dan sebagainya.
  4. Mangambat, berarti seremoni pada acara perkawinan di mana anak boru menghalangi boru tulang-nya yang telah menikah dibawa pergi. Anak boru atau anak namboru adalah laki-laki sepupu si perempuan, anak dari saudara perempuan ayahnya. Secara tradisional seorang perempuan seharusnya menikah dengan anak namborunya. Demikian juga seorang laki-laki menikah dengan boru tulangnya, anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya. 
  5. Mangalen Mangan,
  6. Maronang-onang,
  7. Marturi,
  8. Marungut-ungut, dan
  9. Maralok-alok.
     
MANDAILING BUKAN BATAK
        Selama 4 tahun (1922-1926) terjadi pertikaian antara bangsa Batak yang berasal dari Padang Lawas, Sipirok dan Angkola dengan Mandailing  memperebutkan hak atas tanah wakaf di Sei Mati (sekarang Jl. Brigjend. Katamso) Medan. Pertikaian ini akhirnya sampai ke pengadilan De Raad van Justitie te Medan yang dalam keputusannya pada 12 Februari 1926 secara jelas membedakan antara kumpulan (kelompok) orang Islam yang berasal dari Mandailing bersama orang yang berasal dari Sipirok, Padang Lawas, Angkola (tinggal di Medan) namun mengaku dirinya Mandailing (dipanggilkan bangsa Mandailing atau dipandang sama dengan orang Mandailing), dengan kumpulan (kelompok) orang-orang Islam yang mengaku bangsa Batak yang berasal dari Sipirok, Padang Lawas, dan Angkola.

Sejak adanya keputusan dari De Raad van Justitie di Medan itu maka beberapa hari sesudahnya Controleur Medan, Ruychaver menjelaskan pelaksanaan keputusan ini kepada kedua belah pihak. Keputusan ini menjadi salah satu tonggak penting ketika orang Mandailing menolak dirinya sebagai bagian dari Batak. Tentu saja keputusan ini memiliki fakta yang kuat tentang perbedaan kedua etnis tersebut sehingga hakim memutuskan ketidaksamaan keduanya. Berikut salinan keputusan tersebut:

Verklaraat voor recht, dat de Nazir van de begraafplaats te Soengei Mati alleen verplicht is een graf op dat kerkhof af testaan aan Mohammedanen , afkomstig uit de afdeelingen Groot en Klein Mandailing, alsmede aan Mohammedanen, afkomstig uit de afdeelingen Sipirok, Padang Lawas en Angkola, die zich te Medan nog Mandailingers noemen, laten noemen, zich met Mandailingers gelijkgesteld beschouwen, zich niet van deze groep hebben gescheiden en gevoegdbij de zich tot een afzonderlijke groep onder deen naam “Batakkers” gevormd hebbende Mohammedanen , uit gemelde afdeelingen Sipirok, Padang Lawas en Angkola afkomstig.



(Naskah lengkap dapat dilihat pada buku Riwayat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing, di Sei Mati Medan, ditulis oleh Mangaradja Ihoetan, verantwoordelijk Redacteur, Pewarta Deli di Medan, dan  voorzitter Comite Pengoeroes Tanah Wakaf)   

Sebenarnya sudah sejak 1922, etnis Mandailing menolak disebut Batak. Berikut adalah kutipan -dengan penyuntingan seperlunya- dari diskusi berjudul "Mandailing Menggugat: Mengurai Latar Antropologis-HIstoris Mandailing bukan Batak", pada 23 Oktober 2017 di Hotel Madani Medan, seperti diberitakan oleh Harian Analisa  (25/11/2017).

     Menurut Antropolog Usman Pelly, tidak satu pun kata Batak yang dapat ditemukan dalam khasanah maupun manuskrip kuno baik dari khasanah Toba, Angkola, Pakpak, Simalungun, apalagi Mandailing. Pada stempel  Raja Sisingamangaraja ke-XII hanya tertulis Ahu Si Raja Toba, bukan si Raja Batak

     Menurut sejarawan dan peneliti Ichwan Azhari, istilah Batak digunakan para peneliti asing untuk menunjukkan lokasi geografis masyarakat yang tinggal di dataran tinggi. Masyarakat pesisir diidentikkan dengan Melayu. Istilah inilah -yang sebenarnya tak diinginkan- berubah menjadi masyarakat pegunungan dan berproses menjadi identitas dan kebanggaan. Identitas inilah yang secara konsisten ditolak oleh Mandailing. Istilah ini diperparah dengan adanya penulis yang menggunakan istilah Batak untuk menggambarkan etnik-etnik yang ada, mulai dari Mandailing, Toba, Angkola, Karo, Pakpak hingga Simalungun. Hal yang sama terjadi karena riset yang ada selama ini justru didominasi peneliti asing. 

     Menurut peneliti Pussis UNIMED, Erron Damanik, terjadinya enam etnis menjadi satu dimulai oleh Payung Bangun. Tulisan Payung Bangun menginspirasi antropolog Koentjaraningrat yang membahas tentang Batak dan memasukkan ke-enam etnik tadi ke dalam Batak di bukunya Manusia dan Kebudayaan. Hanya Toba dan Angkola yang tetap kukuh menerima disebut Batak. Mandailing telah menolak disebut Batak sejak 1922, Karo sejak 1952, Simalungun sejak 1963, Pakpak sejak 1964 dan Nias sejak 1952. Menurut Erron: "Tidak ada yang disebut Batak, yang ada Mandailing, Toba, Pakpak, Karo, Simalungun dan Angkola. Batak adalah ahistoris". 
     
DALIAN NA TOLU

        Tubu unte, tubu dohot durina. Tubu jolma, tubu dohot adatna, artinya tumbuh pohon jeruk, tumbuh pula durinya, tumbuh (muncul) manusia, muncul pula adat-istiadatnya. Pepatah inilah yang menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki adat (nilai luhur) dalam kehidupan dan lingkungannya. Dalam nilai-nilai budaya etnis Mandailing dikenal Dalian Na Tolu (landasan yang tiga atau tiga landasan) sebagai nilai bersama (shared values), yaitu mora, kahanggi, dan anakboru

        Dalam implementasi nilai ini dikenal istilah: Pertama, hormat marmora, maksudnya kita hormati pihak mertua, karena kita sudah menyambungkan pertalian darah dengan beliau. Kedua, manat markahangi”, maksudnya dengarkan apa yang terjadi di antara sesama saudara. Kahanggi adalah saudara dari pihak ayah (laki-laki) seperti adik-abang, sepupu (anak laki-laki paman), bahkan lebih luas adalah saudara semarga. Dengan demikian seharusnya seorang yang bermarga Nasution akan berkahanggi dengan Nasution lainnya. Namun tidak jarang terjadi perkawinan semarga yang mengakibatkan orang semarga saling menjadi mora atau anakboru. Ketiga, elek maranakboru, maksudnya pandai-pandailah mengambil hati pihak yang memberikan bantuan, baik bantuan tenaga atau yang yang lainnya. Anak boru dalam budaya Mandailing adalah pihak yang bekerja lebih banyak, biasanya mereka lebih sabar pula. Orangtua pihak laki-laki menjadi anakboru dari pihak orangtua perempuan jika anaknya menikah dengan boru besannya. 

Selanjutnya dikenal etika bertutur (partuturon) akibat adanya hubungan darah, perkawinan dan kekerabatan. Partuturon selanjutnya dikenal dalam lingkup yang lebih luas sewaktu berkomunikasi di masyarakat yang berasal dari Mandailing di mana saja. Pada hari pekan (poken) di Mandailing, anak gadis yang berjualan akan memanggil udak (paman, saudara laki-laki ayah) kepada pembeli yang lebih kurang seusia ayahnya. Berikut adalah contoh partuturon dengan membayangkan "saya" atau au adalah anak laki-laki:
  • orangtua laki-laki dan perempuan ayah saya, dipanggil ompung, keduanya disebut ompung suhut;
  • orangtua laki-laki dan perempuan ibu saya, dipanggil ompung, keduanya disebut ompung mora,
  • orangtua laki saya dipanggil amang dan orangtua perempuan, dipanggil inang (umak)
  • orangtua laki-laki istri saya, dipanggil tulang, yang perempuan, dipanggil nantulang (inang tulang). 
  • saudara saya yang lebih tua, dipanggil angkang dan lebih muda dipanggil anggi atau iboto (perempuan), 
  • Partuturon selanjutnya dapat diperoleh pada dokumentasi yang tersedia di PIDM.
HUTA DI MANDAILING
Huta (kampung) dapat berarti ibu negeri dari beberapa kampung lainnya yang berada dalam satu kerajaan (harajaon). Di Mandailing Julu dikenal beberapa kerajaan yang menjadi huta seperti Tamiang, Manambin, Huta Godang, Ulu Pungkut, dan Pakantan. Kerajaan ini didirikan oleh keturunan Si Baitang anak dari Namora Pande Bosi, leluhur marga Lubis.
Kerajaan dipimpin oleh seorang Raja Panusunan/Kepala Kuria. Setelah kemerdekaan RI semua Raja-raja/Kuria menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Residen Tapanuli Dr Ferdinand Lumban Tobing yang berkedudukan di Sibolga, sebagai bukti dukungan terhadap kemerdekaan RI. Huta (harajaon) atau kampung inilah yang sering disebut orang Mandailing sebagai bona bulu (kampung halaman).


SEDIKIT TENTANG TAPANULI SELATAN
Ketika masih berstatus Kabupaten Tapanuli Selatan, banyak orang memahami bahwa semua orang yang berasal dari sini adalah etnis Mandailing. Sebenarnya di kabupaten ini dikenal etnis Angkola, didominasi oleh marga Harahap dan Siregar. Karena itu Angkola dapat dipandang sebagai sebuah wilayah tetapi juga nama sebuah etnis. Sebelum kemerdekaan Tapanuli Selatan adalah sebuah afdeling yang dipimpin oleh seorang Residen, berpusat di Padang Sidempuan dengan tiga onder afdeling: Angkola-Sipirok (Padang Sidempuan), Padang Lawas (Sibuhuan) dan Mandailing (Kotanopan). Ketiganya dipimpin oleh seorang Asisten Demang. Onder Afdeling Angkola-Sipirok sendiri memiliki 3 onder distrik yaitu Angkola (P. Sidempuan), Batang Toru (Batang Toru) dan Sipirok (Sipirok). 

Penduduk di Angkola diperkirakan telah ada jauh sebelum masuknya Belanda ke Tapanuli Selatan. Hal ini terlihat dari banyaknya kerajaan di Angkola seperti Sabungan (kaki Gunung Lubuk Raya), Batunadua, Sipirok/Parau Sorat, Siala Gundi, Muara Tais, Batang Toru, Batarawisnu dan Mandalasena. Selain marga Harahap dan Siregar, di Angkola juga dikenal marga Pane, Hutasuhut, Rambe dan lain-lain.

Setelah pemekaran Tapanuli Selatan, saat ini onder afdeling berubah menjadi kecamatan seperti: Sipirok, Arse, Padang Sidempuan Timur, Saipar Dolok Hole, Aek Bilah, Batang Angkola, Sayur Matinggi, Sigalangan, Batang Toru dan Dolok.   

Horas tondi madingin
Pir tondi matogu
Sayur matua bulung
Silang sae soada mara

Jumat, 01 Januari 2016

PENERBITAN BUKU TENTANG MANDAILING




Salah satu informasi dan dokumentasi yang disediakan oleh PIDM adalah dalam bentuk penerbitan buku tentang Mandailing. Penerbitan dilaksanakan bekerjasama dengan Pustaka Widiasarana.  Selain itu kami juga bekerjasama mendistribusikan buku-buku tentang Mandailing seperti dari Areca Books (Penang) dan Yayasan Pencerahan Mandailing (Medan). Saat ini telah diterbitkan/diedarkan judul-judul berikut (harga berlaku per 01 Juli 2013):

  1. Mandaling Polit? Benarkah Orang Mandailing Pelit?, oleh Z. Pangaduan Lubis, ISBN:979-8365-19-2, harga Rp24.000;
  2. Asal Usul Marga Marga di Mandailing, oleh Z. Pangaduan Lubis, ISBN: 979-8365-20-2, harga Rp35.000
  3. Kumpulan Catatan Lepas Tentang Mandailing, oleh Z. Pangaduan Lubis, Edi Nasution dan Imsar Muda Nasution, ISBN: 979-8365-19-4, harga Rp42.000. Buku ini berisi catatan tentang: Perlawanan Sutan Mangkutur Terhadap Belanda, Masuknya Islam di Mandailing, Alak Mandala Holing (cerpen) dan Dalian Na Tolu.
  4. Tulila, Muzik Bujukan Mandailing, oleh Edi Nasution, ISBN:978-983-42834-4-5, diterbitkan oleh Areca Books, Malaysia, harga Rp70.000
  5. Mengenal Lebih Jauh, Willem Iskander dan Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk, oleh Z. Pangaduan Lubis, ISBN:979-8365-21-6, dengan terjemahan oleh Mhd. Bakhsan Parinduri. Buku ini juga memuat kata sambutan alm. H. Harris Muda Nasution pada acara penerimaan penghargaan untuk Willem Iskander dari Pemerintah RI, tahun 1978 di Jakarta. Harga Rp45.000
  6. Namora Natoras (dalam proses)
  7. Manulak Sere, Horja Pabuat Boru, Horja Haroan Boru adalah satu paket yang terdiri dari 3 judul ditulis oleh H. Pandapotan Nasution, SH gelar Patuan Kumala Pandapotan,  Yayasan Pencerahan Mandailing,  harga Rp55.000/set (3 buku).
  8. "Buras Lopo Mandailing" dan "Novel Mandailing Mangirurut", keduanya ditulis oleh Mhd.Bakhsan Parinduri (Jasinaloan), Deli Grafika, . Harga masing-masing @Rp35.000 dan Rp65.000.
  9. Hata Bou, Mandok Ulang Agoan, H. Armeyn Nasution, Yayasan Bindu Nusantara, harga @Rp35.000

Semua harga di atas tidak termasuk ongkos kirim.

Buku Adat Perkawinan Mandailing
Buku-buku tentang Mandailing telah dan akan ditampilkan dalam berbagai pameran buku seperti:
  1. Kuala Lumpur International Book Fair (KLIBF) 2011 dan 2012 di Putra Jaya World Trade Centre, Kuala Lumpur, Malaysia (di booth Books From Indonesia, IKAPI).
  2. Indonesia Book Fair (IBF) 2012, 17-25 Nopember 2012 di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta (di stan IKAPI SU)
Pesanan? Hubungi pid.mandailing@gmail.com, 061-7344856 (contact person : Fatmawati)

Komentar lebih lanjut tentang buku-buku di atas dapat dilihat di: www.gondang.blogspot.com/2010_07_13_archive.html

Senin, 14 Januari 2013

REVITALISASI SEJARAH dan KEBUDAYAAN MANDAILING


SUMBANGAN PEMIKIRAN UNTUK REVITALISASI KEBUDAYAAN MANDAILING

Oleh: Zulkifli B. Lubis


Pertama, ketika kita bicara revitalisasi, saya kira kita sadar bahwa sesungguhnya kita memiliki sesuatu yang vital atau vitalitas, yang karena berbagai sebab musabab dalam perjalanan sejarah menjadi hilang atau berkurang vitalitasnya. Oleh karena itu, kita merasa bahwa harus ada upaya untuk membuatnya vital kembali. Dalam hal ini, yang ingin kita revitalisasi adalah kebudayaan Mandailing. Nah, sebelum melangkah ke arah revitalisasi kebudayaan Mandailing, menurut hemat saya pertama-tama kita perlu membangun kesepahaman tentang entitas Mandailing itu sendiri. Membangun kesepahaman tersebut bisa dimulai dari membangun 'kesadaran' tentang identitas Mandailing, yaitu Mandailing sebagai sebuah 'bangsa' dengan atribut-atribut kemandailingannya. Menurut hemat saya, revitalisasi kesadaran tentang identitas Mandailing ini perlu digelorakan terlebih dahulu sehingga setiap orang Mandailing kembali memiliki kebanggaan dan keberanian untuk mengatakan dimanapun dan kapanpun : "Saya orang Mandailing !". Bukan 'X Mandailing' atau 'Mandailing Y' atau apapun sebutan yang lain. Sepengamatan saya, perkara kebanggaan dan keberanian untuk menyatakan identitas ini yang sudah tergerus sedemikian jauh, sehingga perlu dikukuhkan kembali.  
[Mangaradja Ihoetan pada tahun 1926 sudah mengingatkan agar "toeroenan-toeroenan bangsa Mandailing... tahoe bagaimana djerih pajah bapa-bapa serta nenek mojangnja mempertahankan atas berdirinja kebangsaan Mandailing itoe. Dengan djalan begitoe diharap tiadalah kiranja mereka itoe akan sia-siakan lagi kebangsaannja dengan moedah maoe mehapoeskannja dengan djalan memasoekkan diri pada bangsa lain jang tidak melebihkan martabatnja". Lihat Ihoetan (1926:4) 'Riwajat Tanah Wakaf bangsa Mandailing di Soengai Mati Medan']. 

Kedua, untuk membangunkan kembali 'kesadaran tentang identitas Mandailing' itu tentu saja kita harus memahami bahwa Mandailing adalah suatu entitas 'kebangsaan' yang sudah eksis dalam rentang kesejarahan yang sangat panjang. Nama Mandailing setidaknya sudah disebutkan sejak abad ke-14 dalam Kitab Negarakertagama. Setiap kita yang memiliki pengetahuan kesejarahan Mandailing seyogiyanya sudi membagikan pengetahuannya agar lintasan sejarah Mandailing semakin terang bagi generasi-generasi muda Mandailing pada khususnya. Banyak versi sejarah maupun legenda yang mungkin kita ketahui, yang boleh jadi tidak sinkron satu sama lain. Namun yang terpenting bagi kita dalam menyikapi informasi kesejarahan itu adalah mendahulukan sikap objektif dan berusaha menemukan fakta-fakta pokoknya. Misalnya, adalah fakta bahwa Mpu Prapanca sudah menyebutkan nama Mandailing pada abad ke-14 terkait dengan kerajaan Majapahit. Adalah fakta bahwa secara geografis Mandailing berdekatan/bertetangga dengan nama-nama lain yang juga disebut Mpu Prapanca di dalam kitabnya itu. Adalah fakta bahwa tidak ada tempat bernama Mandailing di wilayah Pusuk Buhit (Toba), sehingga hubungan asosiatif Mandailing dengan legenda Toba perlu dipertanyakan validitas historisnya. Adalah fakta bahwa Mandailing merupakan sebuah wilayah geografis yang eksis di dalam peta bumi dan pernah dihuni serta didatangi banyak bangsa, dan bukti-bukti peninggalan mereka masih bisa ditunjukkan. Adalah fakta bahwa tanah Mandailing memiliki kekayaan bawaan (misalnya emas) yang menjadi alasan berbagai bangsa datang ke negeri itu. Adalah fakta bahwa beragam manusia dengan latar asal yang berbeda-beda, ras yang berbeda-beda, dan keyakinan relijius yang berbeda-beda, pernah menghuni wilayah geografis yang bernama Mandailing itu. Adalah fakta bahwa orang Mandailing yang hidup sekarang di wilayah itu jika diamati secara cermat masih menyisakan 'bukti-bukti' adanya percampuran ras dari beragam-ragam bangsa yang pernah menghuni wilayah tersebut. 

Ketiga, berkaitan dengan uraian pada poin dua di atas, kiranya akan lebih pas jika pemahaman kita mengenai Orang Mandailing harus dibangun melalui suatu kesepahaman bahwa mereka adalah hasil pembauran dari banyak bangsa yang pernah hidup di wilayah geografis Mandailing yang terjadi dalam lintasan sejarah panjang selama berabad-abad. Karena itu, agaknya tidak tepat lagi jika kita selalu mengasosiasikan sejarah Mandailing dengan sejarah marga-marga yang ada di sana, apalagi mereduksinya hanya sebatas marga-marga yang kita kenal sekarang; terlebih lagi jika dipersempit pula dengan dikotomi wilayah Mandailing Godang dan Mandailing Julu yang diasosiasikan dengan marga Nasution dan Lubis saja. Sekali lagi, barangkali akan lebih mengena jika kita mendefinisikan Orang Mandailing sebagai hasil pembauran dari banyak bangsa yang pernah menghuni wilayah Mandailing selama berabad-abad. Jika kita sepaham bahwa orang Mandailing merupakan hasil pembauran beragam bangsa tersebut, maka kita tidak perlu lagi bimbang untuk menolak argumentasi purifikatif orang Batak yang mengatakan orang Mandailing berasal dari keturunan Si Raja Batak. Saya tidak ingin membahas soal invaliditas argumentasi tarombo Si Raja Batak tersebut di sini. Tapi yang ingin saya katakan, konstruksi kesejarahan Mandailing tidak kongruen dengan konstruksi kesejarahan Batak sebagaimana dipahami selama ini, yaitu seolah-olah manusia Batak (termasuk Mandailing dalam konsepsi mereka yang mendukungnya) berasal dari satu nenek moyang bersama bernama Si Raja Batak. Mari kita pelajari legenda asal-usul klen atau marga yang ada di Mandailing, dan kita akan menemukan fakta bahwa nenek moyang setiap marga tersebut datang dari tempat yang berbeda-beda, ada yang dari timur, ada yang dari barat, tapi tidak ada yang turun dari langit seperti orang Batak. Orang Mandailing yang bermarga Lubis misalnya, meskipun merujuk asal-usul nenek moyangnya ke Daeng Malewa yang adalah orang Bugis, tidak serta merta harus dibatalkan pengakuan dirinya sebagai orang Mandailing, karena ketika turunan Daeng Malewa sudah hidup bergenerasi-generasi di wilayah Mandailing, mereka tidak lagi mengidentifikasi dirinya dengan label Bugis, melainkan sudah melebur menjadi bagian dari masyarakat Mandailing. Demikian juga dengan marga-marga yang lain, termasuk marga Tanjung misalnya yang masih kuat hubungan historisnya dengan Minangkabau. Klen Tanjung sudah lama menjadi bagian dari sistem sosial Dalian Na Tolu di sejumlah kampung di Mandailing, sehingga mereka adalah absah sebagai orang Mandailing.  
Identitas 'kebangsaan' Mandailing tidak harus diasosiasikan dengan keturunan nenek moyang bersama seperti yang menjadi model berfikir orang Batak Toba dengan 'mitos' Si Raja Batak yang terkenal itu. Sama halnya dengan orang Aceh, orang Jawa, orang Melayu, orang Sunda, dan lain-lainnya yang identitas keacehan, kejawen, kemelayuan dan kesundaan mereka tidak harus dirujuk kepada masing-masing satu nenek moyang bersama. Apakah orang Aceh tidak absah menyatakan diri sebagai 'bangsa' Aceh, atau orang Jawa sebagai 'bangsa' Jawa hanya karena mereka tidak memiliki satu tokoh nenek moyang bersama? Sekedar menyebut satu saja inkonsistensi atau invaliditas kesejarahan Si Raja Batak adalah ini: di satu sisi, orang Batak menyebutkan asal-usul mereka dari tokoh Si Raja Batak yang adalah keturunan dari manusia-dewa dan turun di Pusuk Buhit. Tapi di sisi lain, penulis-penulis mereka juga selalu mengasosiasikan bahwa orang Batak adalah percabangan dari migrasi manusia yang datang dari wilayah daratan Asia, apakah tergolong proto Melayu, deutro melayu dan sebagainya sejak berabad-bad lalu. Lho, yang benar yang mana? Syukurlah bahwa orang Mandailing sepengetahuan saya tidak pernah menyebut diri mereka berasal dari keturunan manusia-dewa, melainkan hasil dari proses migrasi yang bisa diveriifikasi validitas kesejarahannya. 

Keempat, dengan pemahaman bahwa manusia Mandailing itu pada dasarnya adalah hasil pembauran sebagaimana dikemukakan di atas, adalah absah jika kemudian generasi-generasi awal masyarakatnya yang hidup tempo dulu di wilayah Mandailing itu memerlukan suatu penataan kehidupan bersama yang kita namakan kebudayaan. Tentu saja kita sulit --dan bukan hanya kita, tetapi semua bangsa juga demikian-- menentukan sejak kapan kebudayaan Mandailing (berikut segala atributnya yang masih kita kenal sekarang) itu terbentuk. Saya kira pertanyaan demikian juga bukanlah sebuah pertanyaan penting, karena hakekat dari setiap kebudayaan adalah dinamis, tidak statis. Yang penting kita pahami adalah fakta bahwa orang Mandailing yang pada awalnya hidup di wilayah geografis bernama Mandailing sudah memiliki warisan peradaban yang kaya, yang jika dirunut ke belakang terlihat dari masih banyaknya peninggalan-peninggalan purbakala yang membuktikan tuanya peradaban mereka.  
salah satu peninggalan purbakala di
Mandailing (arsip: Z. Pangaduan Lubis)
Orang Batak selalu mengemukakan argumentasi bahwa sisa-sisa peninggalan purbakala yang ada di Mandailing bukanlah warisan orang Mandailing, tetapi warisan orang Hindu/Buddha. Orang Mandailing, kata mereka, datang belakangan ke sana, sementara pemilik peradaban yang meninggalkan bangunan-bangunan purbakala itu telah hilang, takluk, atau lenyap ditelan bumi. Boleh saja ada pandangan yang demikian, namun kelihatannya kurang masuk akal, karena sebuah wilayah terbuka seperti Mandailing yang selama berabad-abad didatangi orang dari berbagai penjuru angin, tentulah manusianya saling berinteraksi satu sama lain, saling berbagi pengetahuan, dan karena itu terjadilah proses-proses kebudayaan seperti difusi, akulturasi dan asimilasi. Kebudayaan Mandailing mencerminkan fakta-fakta akulturatif demikian, yang bisa kita lihat dari bahasa, kepercayaan, sistem sosial dan juga kebudayaan material mereka. Tulisan 'uruf tulak-tulak' misalnya (yang belakangan dinamakan orang tulisan batak), menurut penelitian van der Tuuk dan Uli Kozok, justru berkembang dari Mandailing ke Toba, bukan sebaliknya. Artinya, tradisi menulis sebagai bentuk modernitas, justru datang dari Mandailing dan bergerak ke utara. Kosa kata yang berasal dari bahasa Sanskerta dan Tamil bisa ditemukan dalam bahasa Mandailing, dan itu juga merupakan fakta historis persinggungan perabadan India dengan Mandailing, yang bukan hanya terekam dalam bahasa, melainkan juga terbukti dari kehadiran bangsa tersebut secara fisikal di Mandailing tempo dulu. Bisuk Siahaan, salah seorang penulis Batak Toba, dengan 'gentlemen' mengakui bahwa tidak pernah ditemukan sebuah prasasti pun di wilayah Toba, yang kiranya bisa menunjukkan bukti fisikan kehadiran bangsa lain di wilayah itu. Syukurlah bahwa daerah Mandailing memiliki banyak sekali peninggalan purbakala dari zaman batu hingga zaman Hindu/Buddha, yang sebagian sudah hancur, terlantar, dan sejauh ini masih menjadi 'warisan bisu' karena belum banyak diteliti secara ilmiah.